SULBARPEDIA.COM,Mamasa-Budidaya tanaman nanas di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), khsusunya di kecamatan Aralle, Tabulahan, Buntu Malangka, Mambi dan sekitarnya, telah berkembang signifikan dua puluh tahun terakhir.
Dari Kabupaten Mamuju di pesisir Sulbar menuju pegunungan Kabupaten Mamasa, dan begitu memasuki wilayah yang kerap diselimuti kabut di pagi dan sore hari, maka sepanjang jalan nasional dari Mamuju – ibu kota provinsi Sulbar – hamparan tanaman nanas dan tempat-tempat khusus untuk berjualan buah bermahkota itu dengan mudah dijumpai.
Diakui petani, hasil bercocok tanam nanas sangat menguntungkan dan dapat meningkatkan kehidupan ekonomi keluarga jika ditekuni secara serius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pak Amri salah satu contohnya. Ia adalah petani pertama yang merintis budidaya tanaman nanas di Aralle sebagai pekerjaan utama. Saat ini Pak Amri sukses mengembangkan usaha tanaman nanas dengan omset pendapatan jutaan rupiah perpekan.
Ia menceritakan, dirinya telah menekuni budidaya tanaman nanas sejak dua puluh tahun yang lalu.
Kini, di lahan seluas satu hektare, tanaman nanas miliknya sebanyak lebih-kurang 15.000 pokok tanaman, sudah berpoduksi. Hasilnya, ia bisa membiayai pendidikan anaknya, tidak lagi kerja sawah dan tidak lagi mengurus kebun kakao yang merupakan pekerjaan rutin yang ia geluti sebelumnya.
Kata Pak Amri, dirinya saat ini masih terus menambah luas areal tanaman pada lahan miliknya yang belum ditanami.
Sebelum menekuni budidaya tanaman nanas, Ia mengatakan, dirinya sama seperti petani lainnya di Aralle, yaitu mengusahakan berbagai jenis tanaman pertanian sambil mengurus beberapa hewan ternak.
“Saya pernah berkebun coklat. Berhasil juga. Saya ternak sapi, tanam jagung, termasuk tanam nilam. Tapi akhirnya saya putuskan fokus ke tanaman nanas. Jadi karena saya sudah fokus di nanas, saya tidak akan beralih ke tanaman lain lagi,” tutur Pak Amri yang ditemui di rumah kebunnya di Desa Aralle Selatan, Ahad (13/10/2024).
Pak Amri mengisahkan, awalnya karena keterbatasan bibit, ia menanam hanya sembilan pokok bibit tanaman nanas. Berangkat dari sembilan pokok tanaman itu, ia terus menambah tanamannya dari bibit yang ia beli sedikit-sedikit dan dari tunas tanaman nanas yang sudah tumbuh.
“Total kalau dihitung, saya beli bibit hanya modal Rp300.000. Selebihnya sampai lebih 15.000 pokok tanaman saat ini, berasal dari tunas tanaman yang sudah ada,” katanya.
Menurut Pak Amri, prinsip bercocok tanam yang ia pegang adalah apapun jenis tanamannya, perbanyak jumlahnya. Sebab, berapapun mahalnya nilai jual kalau hasil panennya sedikit, tetap tidak akan seberapa hasilnya. Tetapi jika dalam jumlah banyak, maka hasilnya juga akan banyak, sekalipun dijual dengan harga murah.
Butuh Mitra Untuk Kembangkan Usaha
Kendala yang saat ini dirasakan Pak Amri dan tentu saja umumnya petani nanas di wilayah ini adalah harga jual yang murah dan permintaan pasar yang belum stabil disebabkan para pengepul baru sebatas memasok buah nanas kepada penjual buah eceran di luar Kabupaten Mamasa.
“Pembeli dengan sistem borong yang datang selama ini kan baru sebatas sampai ke Kabupaten Pinrang, Sidarap, Mamuju, ada juga ke Majene, akan bagus kalau ada perusahaan atau pabrik pengolahan nanas yang bisa kerjasama dengan petani dengan pola kemitraan,” kata Pak Amri.
Pola kemitraan atau Contract farming yang dimaksud Pak Amri adalah bentuk kemitraan antara petani dengan perusahaan atau pihak lain dalam hal produksi dan pemasaran hasil pertanian.
Dalam konsep ini, petani biasanya akan mendapatkan bantuan teknis, modal, serta jaminan pembelian hasil panen dari pihak perusahaan.
Dari kerja sama ini, petani mendapatkan manfaat berupa peningkatan produktivitas, pendapatan, dan keamanan dalam menjalankan usaha pertaniannya.
Lebih lanjut Pak Amri menyebutkan, selain masalah pemasaran hasil dalam skala besar, kendala lain yang dirasakan oleh warga yang menekuni bidang pertanian dan perkebunan di wilayah ini adalah kendala transportasi dari lahan yang belum bisa diakses menggunakan kendaran bermotor.
Pak Amri sendiri sangat merasakan hal itu. Meski kawasan perkebunan tempatnya bercocok tanam nanas sudah bisa dilalui kendaraan roda dua dengan jalan tani yang dibangun pemerintah desa, namun saat ini kondisi jalan itu sudah rusak dan cenderung tidak aman dilalui berkendara.
Kata Pak Amri, saat ini jalan semen yang dibangun sudah hancur. Perawatan dari pemerintah tidak ada.
Ia mengatakan, dirinya mengambil inisiatif sendiri dengan membeli semen dan menambal beberapa bagian permukaan jalan yang rusak parah dan dianggap berbahaya.
“Saya juga yang pasang papan. Walaupun itu jalan umum, tapi saya sadar saya yang paling sering menggunakan. Termasuk jembatan gantung saya juga yang perbaiki,” ujarnya.
Pak Amri mengatakan, jadi petani ia memegang prinsip mandiri. Oleh karena itu dirinya tidak berharap selain dari apa yang bisa ia kerjakan sendiri.
“Kita bantu pemerintah seandainya kita mampu. Karena tidak mampu, kita kerjakan apa yang bisa kita kerjakan, penuhi kebutuhan sendiri,” ujarnya. (guf)