DENGAN BENCANA PEMDA
DITUNTUT BERDAYA
Oleh : Usman Suhuriah
Wakil Ketua DPRD Sulbar|Fraksi Golkar
Saat kapan sebetulnya lembaga pemerintah itu lebih dibutuhkan selain dari tugas fungsinya sehari-hari. Dengan tugas fungsinya sebagai lembaga pelayan publik dapatkah selalu survive dalam memberikan layanan kepada masyarakat terlebih di masa bencana sekalipun ?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikaitkan dengan bencana gempa Sulbar tiga pekan lalu saat memasuki tanggap darurat sampai paska tanggap darurat maka pertanyaan di atas bisa jadi relevan terutama karena situasinya saat itu dan dengan keberadaan pemerintah daerah sungguh-sungguh dibutuhkan. Kebutuhan akan informasi seperti kejelasan kemana mengungsi, rumah sakit mana yang menerima rujukan, dimana posko, dimana kontak PLN, PDAM, di daerah mana yang masih aman untuk didatangi dan seterusnya.
Pendeknya, masyarakat korban bencana pada hari itu sudah pasti membutuhkan bantuan. Dan tidak hanya itu bahkan sampai hari ini setelah memasuki fase berakhirnya tanggap darurat masih tetap memerlukan bantuan, bimbingan, pendampingan hingga dengan situasi setelah munculnya bencana lanjutan (disaster impact) seperti diare, meninggalnya bayi yang lahir di tenda pengungsian, nasib kelompok lansia, kelompok yang berkebutuhan khusus (disabilitas), kelompok rentan lain dan terlebih dengan masih harusnya menjalankan pelayanan yang terkait dengan usaha menekan penyebaran Covid-19 di tengah bencana.
Mengelola bencana pasti tidak gampang karena memang situasinya sangat kompleks. Namun bagaimanapun lembaga pemerintahan akan panen tuntutan, keharusan-keharusan, bahkan sorotan. Maka demikianlah memang sebab lembaga ini ada untuk memberikan layanan tidak perduli itu di keadaan normal apa lagi dalam keadaan tidak normal.
Lembaga ini diketahui secara “common sense” bahwa inilah medan tugas pemda dimana sama sekali tidak bisa abai dari sini.
Begitu pun dengan amanah dan janji untuk menjalankan semua tugas fungsi pemerintahan membuatnya tidak bisa bergerser dari situasi bencana. Oleh lembaga ini enak tidak enak harus tetap tegar dalam menjalankan tanggungjawabnya di lapangan masalah. Itulah mungkin sejak awal ada sumpah para pejabat dan segala personilnya untuk setia di segala situasi dan bersumpah untuk terus mengabdi kepada masyarakat.
Untuk hal-hal tersebut maka akan dilihat ukuran lembaga ini dengan keberdayaannya dengan memetakan kebutuhannya berkaitan dengan kebencanaan. Bahwa apa yang dimaksud kesiapannya sebelum bencana sedemikian rupa sudah terbangun jauh sebelumnya. Atau semacam kalibrasi bencana apa yang paling pertama dilakukan, apa yang paling dibutuhkan. Timelinenya jelas saat bencana atau pada saat min satu (-1) atau min dua (-2) dst apa yang dikerjakan. Begitu tidak dipahami maka menjadi sulit untuk mengukur keberdayaan lembaga ini di tengah bencana. Sulit mengukur keberdayaannya atau alih-alih untuk disebut berdaya dalam menghadapi bencana.
Keberdayaan berikut adalah kemampuan lembaga untuk mengkosolidasikan seluruh sistem yang diperlukan baik masa persiapan, masa tanggap darurat maupun masa rekonstruksi. Yang kemampuan tersebut tidak rumit untuk mengenalinya apakah semua yang dikerjakan dapat dijalankan secara seiring di tengah fase tanggap darurat. Akan sangat disayangkan bila karena tidak memiliki kerangka kebencanaan sehingga saat menjalankan tanggap darurat masih dengan pola konvensional, seperti misalnya dengan distribusi bantuan tanpa asesment.
Ketidakberdayaan lembaga pelayanan makin jelas ketika pola distribusi justru mengabaian kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, anak-anak, atau disabilitas yang abai untuk diafirmasi sebagai sasaran yang sebenarnya paling rentang dari dampak bencana. Akhirnya karena hilangnya kemampuan pelayanan membuat pola distribusi seperti diadu : siapa kuat siapa dapat. Inilah contoh saja untuk menggambarkan betapa perlunya keberdayaan pelayanan di situasi bencana.
Alhasil, bencana gempa Sulbar cukup menjadi pelajaran untuk bagaimana pemda memikirkan perkuatan kelembagaannya sebagai modal awal sebelum bencana. Karena tanpa dengan itu, lantas kepada siapa warga mendapatkan perlindungan atau bantuan pertama sebelum warga kembali normal sendiri-sendiri.
(@#)