JAKARTA – Saat ini harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit petani dianggap telah meningkat tinggi, padahal bila dihitung tanpa adanya pemangkasan dari Pungutan ekspor sesuai Peraturan Menteri Keuangan PMK 191/PMK.05/2020 tentang tarif layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), harga petani sawit di lapangan bisa jauh lebih tinggi bahkan diperkirakan diatas Rp 3.000/kg.
Saat ini harga TBS Sawit petani merujuk harga penetapan Provinsi Riau untuk periode 25 Mei- 1 Juni 2021, dimana harga TBS tertinggi mencapai 2.630,23/Kg. Sebab itu dikatakan Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, meminta Menteri Keuangan Sri Mulyan agar segera melakukan revisi Peraturan Menteri Keuangan PMK 191/PMK.05/2020 tersebut.
Secara hitungan Pungutan Ekspor tercatat mampu mengoreksi Harga CPO, misalnya saja pada minggu pertama Mei 2021 sebesar US$ 1.100-1.200/ ton. Dengan harga CPO ini, jika di simulasikan dengan PMK 191/PMK.05/2020 terbaru maka terkena Pungutan Ekspor sebesar US$ 255/ton CPO. Kondisi ini secara langsung mengurangi harga CPO yang sejatinya menjadi acuan harga TBS Sawit petani, serta dampaknya langsung pada penurunan harga TBS Sawit petani di lapangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Maka berdasarkan perhitungan pengurangan harga TBS sawit di tingkat petani kelapa sawit bisa mencapai Rp. 600-800/kg, baik itu harga ditingkat petani plasma maupun swadaya,” kata Darto dalam keterangan tertulis diterima InfoSAWIT, Selasa (25/5/2021).
Lebih lanjut tutur Darto, kebijakan ini diyakini hanya untuk menyokong kepentingan para pelaku industri hilir sawit melalui program besar biodiesel B30 dan untuk memuluskan ambisi guna menaikan program biodiesel ke B40.
Hal ini terbukti dengan alokasi Rp. 57,72 Triliun yang sudah di terima oleh perusahan biodiesel dari tahun 2015-2020 dari dana pungutan CPO tersebut. Kemudian program biodiesel tersebut tidak ada keterkaitannya dengan kenaikan harga CPO ataupun harga TBS saat ini. Kenaikan ini disebabkan oleh musim dan produksi yang menyusut sehingga kebutuhan sawit sawit meningkat, ditambah dengan pemulihan ekonomi yang sudah membaik karena covid-19 khususnya negara negara tujuan ekspor sawit.
Lebih lanjut tutur Darto, perusahan-perusahan industri hilir biodiesel B30 sejatinya tidak memperhatikan petani sawit, hal ini dapat di lihat dari belum ada koperasi atau kelembagaan petani kelapa sawit di Indonesia bermitra secara langsung dengan perusahaan pemasok bahan baku biodiesel. Pengecekan SPKS di lapagan di Riau misalnya di 4 kabupaten Siak, Pelalawan, Rokan Hulu, dan Kampar petani sawit swadaya tetap saja menjual TBS Sawit kepada tengkulak dengan harga yang rendah walaupun di sekitar mereka ada perusahan yang terlibat dalam bisnis industri hilir biodiesel B30, akibatnya petani sawit swadaya mengalami kerugian sekitar 30% dari pendapatan yang seharusnya diterima.
Darto juga mengatakan di tingkat pengelolaan dana yang di lakukan oleh BPDP Kelapa Sawit juga tidak ada trasparansi kepada publik, bahkan di dalam kelembgaan BPDP Sawit ada kelompok pengusaha sawit dan biodiesel duduk sebagai komite pengarah tentunya ini sangat mempengaruhi alokasi pengunaan dana sawit tersebut selama ini.
“Untuk itu SPKS meminta kepada Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian untuk segera merevisi pungutan CPO melalui PMK 191/PMK.05/2020dan serta dana pungutan dialokasikan secara adil terutama untuk petani sawit. SPKS juga minta transparansi penggunaan dana oleh industri sawit dan transparansi penggunaan dana di BPDPKS sebab hingga saat ini tidak ada laporan publik terkait penggunaan dana sawit tersebut,” tandas Darto. (T2)
Sumber: lnfoSAWIT.com