SULBARPEDIA.COM, — Proses seleksi calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Barat menuai kritik tajam dari berbagai kalangan setelah Tim Seleksi meloloskan peserta petahana langsung ke tahap uji kelayakan dan kepatutan di DPRD tanpa melalui uji kompetensi sebagaimana peserta lainnya.
Kebijakan tersebut mengacu pada Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Tahun 2024, yang membuka peluang bagi petahana untuk melaju ke tahap selanjutnya tanpa seleksi ulang. Namun, kebijakan ini dianggap mencederai asas keadilan dan prinsip meritokrasi dalam pengisian jabatan publik.
Muhammad Zulfajrin, seorang advokat dan pemerhati hukum penyiaran, menyampaikan keprihatinannya terhadap keputusan tersebut. Ia menilai langkah ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas KPID sebagai lembaga independen yang seharusnya bebas dari kepentingan status quo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tidak ada satu pun ketentuan dalam Undang-Undang Penyiaran yang memperbolehkan jalur pintas bagi petahana. Semua calon, termasuk yang pernah menjabat, wajib mengikuti proses seleksi ulang,” tegas Zulfajrin.
Lebih lanjut, ia menilai Keputusan KPI 2024 yang menjadi dasar kebijakan Timsel perlu diuji secara normatif dan konstitusional. Ia menekankan bahwa keputusan administratif tidak boleh bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik dan asas persamaan di hadapan hukum.
Zulfajrin juga mengingatkan akan dampak jangka panjang dari praktik semacam ini, antara lain terhambatnya regenerasi di dunia penyiaran, ketimpangan kesempatan bagi calon baru, serta menguatnya budaya elitisme dalam tubuh lembaga publik.
“Siaran yang sehat hanya bisa lahir dari proses rekrutmen yang sehat. Jangan biarkan lembaga strategis seperti KPID dikendalikan oleh kelompok yang tak mau diuji ulang,” imbuhnya.
Ia mengajak publik, kalangan akademisi, DPRD, dan media massa untuk mengawal ketat proses seleksi ini. Ia juga mendorong agar Keputusan KPI 2024 direvisi dan proses seleksi KPID dibuka untuk pengawasan eksternal, seperti dari Ombudsman RI.
“Ini bukan soal siapa yang menjabat, tapi bagaimana prosesnya dijaga agar tetap adil, terbuka, dan akuntabel,” tutup Zulfajrin.
(Wd)