SULBAR DENGAN PETA BENCANA
Oleh : Usman Suhuriah
Wakil Ketua DPRD Sulbar/ Fraksi Partai Golkar
Peta bencana yang ada sudah lebih dari cukup sebagai sajian informasi kebencanaan. Dengan sajian informasi tentu mengharapkan adanya langkah lanjutan sebagai upaya mengantisipasi bencana bila saja terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peta bencana dengan kegunaannya tentu untuk dimanfaatkan. Sebutlah agar dokumen itu tidak sekadar dipajang, dibaca maupun diletakkan sebagai informasi yang pasif.
Data serta informasi kebencanaan bersama pemanfaatannya akan sangat membantu dalam menyusun tindakan yang diperlukan sehubungan dengan kemungkinan bencana. Anggaplah sebagai ikhtiar atau cara melihat data dan informasi yang selalu memiliki nilai rekomendasi.
Maka berdasarkan kesadaran terhadap kebencanaan dengan peta rawan bencana menjadi sangat penting. Bahkan ibaratnya sebagai petanda, pedoman, maupun menjadi landasan ketika akan mengambil kebijakan dan keputusan. Sekali lagi tetaplah penting karenanya bila tidak ditindaklanjuti maka keberadaan informasi dan data tersebut hanya akan jadi pengisi dari susunan file kita yang rapi di arsip-arsip kantor.
Memperhatikan peta rawan bencana yang dimiliki BMKG (Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika) cukup terang menggambarkan betapa daerah Sulbar rawan bencana. Sulbar dalam peta tersebut ditempatkan dalam zona rawan bencana dengan berbagai alasan. Yang alasan itu terutama karena dikitari oleh sejumlah lempengan patah dengan sesar aktif.
Daerah kita sebagai salah satu wilayah yang ada di daratan Sulawesi digambarkan oleh Sukmandaru Prihatmoko ketua IAGI (ikatan ahli geologi Indonesia) bahwa Sulawesi adalah satu pulau yang paling rawan gempa. Sulawesi merupakan pertemuan tiga lempeng utama yang menimbulkan dampak geologi yang sangat kompleks dan beragam. Tiga yang utama itu adalah lempeng pasifik bergerak ke arah barat daya (arah barat daya termasuk di dalamnya Sulbar), lempeng Eurasia yang bergerak ke arah Selatan tenggara dan lempeng yang lebih kecil yaitu lempeng Fhilipina.
Karena lempeng itu saling bergerak, sebutnya, membuat energinya terkumpul di beberapa tempat dan membentuk tekanan atau patahan-patahan. Akhirnya pada satu titik bila sudah tidak kuat lagi menahan itulah tubrukan sebagaimana gempa bumi terjadi.
Jejak bencana gempa di Sulbar dengan data histori juga mencatat -bahkan terdapat peristiwa bencana gempa sebelumnya mungkin tidak terekam oleh kita, gempa tahun 1967-1969, 1984, dan terakhir tahun 2021 pun menjadi peringatan betapa rawannya wilayah ini dengan gempa. Bencana gempa telah membawa korban jiwa, luka-luka, pengungsian, wabah penyakit, kerusakan imprastruktur jalan, jembatan, perumahan, perkantoran, longsor bahkan gempa yang disebut dengan gempa Tinambung (1967) itu mendatangkan tsunami.
Baik data yang dikeluarkan BMKG, pendapat ahli, maupun data dan fakta kesejarahan sudah selayaknya dilihat sebagai bencana berulang-ulang (repeated disasters). Karenanya, keadaanya menjadi ambivalen bila satu sisi diketahui mengenai hal tersebut namun melihat ke depan tetap saja tidak memperhatikan data, informasi serta fakta sejarah kebencanaan berikut tindaklanjutnya pada sisi lain.
Kita tahu bahwa kondisi terakhir seperti bencana gempa Sulbar baru-baru ini sudah barang tentu mendapatkan respon yang bagus. Berbagai usul diajukan, ramai dengan diskusi mengenai apa langkah dilakukan dalam hal mengurangi dampak dan resiko setiap kali datang. Namun bila sudah berlangsung beberapa waktu kita sudah akan mulai melupakan lagi dan menganggap semuanya sudah normal.
Demikian inilah yang perlu diubah agar daerah ini tidak lagi abai dengan data/informasi serta fakta sejarah bencananya. Tinggallah dilihat apakah tetap abai atau bakal terjadi perubahan berarti dalam proses dan hasilnya. Perlu dikawal bersama.
(#@)