Oleh : Yusran, S.Pd.I, M.Pd.I (Dekan Fakultas Tehnik Unika & Pengurus KAHMI Sulbar)
Tahapan pemilu 2024 telah ditetapkan sejak tangal 24 Juni 2022, dan menandakan awal mula kontestasi Pemilu 2024. Konstelasi politik di daerah menjadi semakin inklusif dengan kemunculan elite-elite lokal baru.
Elite-elite lokal memainkan peran signifikan dalam kontestasi elektoral. Pada saat Pilkada misalnya, para elite yang lazim disebut tokoh masyarakat tersebut pada titik tertentu mampu memengaruhi masyarakat untuk memilih dan tidak memilih calon tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada perhelatan pemilihan umum, elite-elite lokal memegang peranan penting menciptakan hegemoni kekuasaan di daerahnya. Dalam konteks ini, elite-elite lokal tersebut bukan hanya menjadi “pemain” yang menciptakan hegemoni, namun mereka “dimainkan” sebagai alat bagi elite politik nasional untuk melakukan hegemoni kekuasaan di daerah-daerah.
Hegemoni itu sendiri adalah istilah yang digunakan Antonio Gramsci (1891-1937) untuk menjelaskan dominasi kelas penguasa atas kelas buruh. Dalam politik moderen, istilah hegemoni diartikan sebagai upaya memengaruhi orang untuk dapat mendominasi tatanan sosial politik.
Hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Sementara, hegemoni dilakukan dan dipengaruhi oleh kelompok elite, yang didefinisikan oleh Pareto dan Mosca sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat.
Dalam pelaksanaan pemilihan umum, khususnya pemilihan legislatif, elite nasional memanfaatkan coattail effect dari elite-elite lokal untuk kemenangan partai politiknya. Coattail Effect adalah istilah yang merujuk pada tindakan menimbulkan pengaruh pada tindakan lain
Dalam terjemahan bebas diartikan sebagai efek kibasan buntut atau kerah jas. Elite-elite lokal yang memiliki pengaruh di daerahnya dapat berupa pengaruh kekuasaan, kekayaan, dan kharisma mampu memberikan efek buntut jas terhadap elektabilitas partai politik di daerah.
Fenomena tersebut pada dasarnya menjadi suatu tantangan besar bagi peneyelenggara pemilu, ditambah lagi terdapat korelasi positif antara tingkat peningkatan black campaign, hoax dan coctail effect. Pada dasarnya kemunculan figur kuat dan berkharisma sebagai salah satu branding partai, akan berpotensi besar pula untuk dijatuhkan, yang pada akhirnya dapat berakhir menjadi black campaign atau hoax.
Pada dasarnya Bawaslu mempunyai peran dalam hal melakukan pengawasan dan penindakan pelanggaran terhadap pelaksanaan Pemilu dalam hal ini pada tahapan flaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 Angka 3 point b nomor 4 UU Pemilu. Adapun yang dimaksud dengan tahapan pelaksanaan tahapan kampanye terutama mengenai bentuk dan materi kampanye, waktu dan jadwal kampanye, serta dana kampanye.
Tantangan besar yang akan dihadapi terkait dengan Bawaslu dalam menjalankan perannya adalah menangani pelanggaran pemilu, utamanya terkait dengan black campaign atau hoax tersebut, utamanya ketidak jelasan dasar hukum mengenai pengertian kampanye hitam dan bentuk-bentuk tindakan politik yang dapat digolongkan sebagai kampanye hitam, disisi lain kurangnya kapasitas SDM dan anggaran menjadi hal penting agar Bawaslu dapat melakukan pengawasan yang sifatnya berada dalam konteks digital.
Pada pemilihan umum 2024 mendatang, coattail effect dari elite lokal masih ampuh dijadikan strategi bagi elite nasional untuk melakukan hegemoni di daerah-daerah. Hegemoni yang dapat berupa framing pencitraan suatu figur disisi lain juga daat menjadi hegemoni kampanye hitam untuk menghancurkan eksistensi suatu figur.
Coattail effect dalam Pemilu 2024 sudah menjadi prediksi yang diperhitungkan oleh berbagai partai politik. Partai-partai tersebut berlomba-lomba mendekati elite-elite lokal, baik itu elite sebagai pengurus partai politik maupun elite non pengurus yang berafiliasi dengan partai tersebut.
Bentuk kerjasama yang dilakukan adalah; elite-elite lokal pengurus partai politik diharuskan berkomitmen penuh untuk setia dan memenangkan partai politiknya di daerah masing-masing; untuk elite non-pengurus, yang notabene memiliki afiliasi dengan partai politik, diminta untuk sekadar menjadi juru kampanye dengan disertai motif transaksional.
Menutup tulisan ini, penulis berkesimpulan bahwa hegemoni elite-elite nasional dengan memanfaatkan coattail effect dari elite-elite lokal untuk memenangkan partai politiknya di daerah adalah suatu yang predictable dalam Pemilihan Umum 2024 mendatang. Namun disisi lain, diperlukan kebenaran dan verifikasi fakta yang kuat bagi lembaga independen seperti Bawaslu agar dapat mencegah potensi hadirnya kampanye hitam dan hoax yang dapat memecah belah masyarakat
Dalam pandangan penulis, kedepan akan ada kemungkinan besar elite lokal menjadi sasaran bermunculannya kejahatan dalam media digital dan disisi lain berpotensi menjadi produk dari distribusi kekuasaan akibat perubahan konstalasi demokrasi pasca reformasi yang memegang peranan penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam kontestasi elektoral.