Penulis : Muh. Qadhafi Pratama, S.H (Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Majene)
SULBARPEDIA.COM – Secara teologis, perkawinan berkaitan langsung dengan hubungan manusia dan Tuhan. Teologi sendiri merupakan kajian tentang ketuhanan dan relasi Ilahi dengan manusia. Dalam konteks ini, perkawinan dipahami sebagai ibadah yang memiliki dimensi duniawi dan ukhrawi sekaligus.
Ikatan pernikahan tidak hanya menghalalkan hubungan antara suami dan istri, tetapi juga mengandung amanah besar berupa hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Suami dan istri dituntut untuk saling bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis, adil, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pernikahan dalam Islam bukan semata urusan personal, melainkan bagian dari sistem nilai yang mengatur kehidupan sosial secara luas.
Rasulullah SAW menjadikan perkawinan sebagai teladan hidup. Beliau menegaskan bahwa menikah adalah sunnah yang berfungsi menjaga kehormatan, menundukkan pandangan, serta membentengi manusia dari perbuatan yang dilarang agama. Bahkan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa pernikahan menyempurnakan separuh agama seseorang.
Landasan Al-Qur’an tentang Kehidupan Keluarga
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Al-Qur’an memberikan fondasi yang kuat tentang tujuan dan makna perkawinan. Salah satu ayat yang paling sering dirujuk adalah QS. Ar-Rum ayat 21, yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan pasangan hidup agar manusia memperoleh ketenteraman, serta dianugerahi rasa cinta dan kasih sayang. Ayat ini menegaskan bahwa keharmonisan rumah tangga bukanlah kebetulan, melainkan tanda kebesaran Allah yang harus direnungkan.
Ayat lain, QS. An-Nahl ayat 72, menekankan bahwa pernikahan melahirkan keturunan dan keberlangsungan generasi. Anak dan cucu dipandang sebagai nikmat sekaligus amanah, yang kelak berperan sebagai penerus kehidupan dan khalifah di muka bumi. Dengan demikian, keluarga menjadi pusat pendidikan nilai, moral, dan keimanan.
Sementara itu, QS. An-Nisa ayat 34 sering menjadi perbincangan dalam diskursus hukum keluarga. Ayat ini menegaskan peran laki-laki sebagai qawwām dalam keluarga. Namun, pemaknaan ayat ini tidak dapat dilepaskan dari prinsip keadilan dan kasih sayang. Kepemimpinan dalam keluarga bukanlah dominasi atau kekuasaan sewenang-wenang, melainkan tanggung jawab untuk melindungi, membimbing, dan menafkahi keluarga.
Membaca Teks secara Tekstual, Kontekstual, dan Interkontekstual
Pemahaman hukum keluarga dalam Islam tidak berhenti pada pembacaan literal (tekstual) semata. Pendekatan tekstual memang penting untuk memahami bunyi ayat dan hadis secara langsung. Namun, agar hukum tetap relevan dan adil, diperlukan pula pendekatan kontekstual dan interkontekstual.
Pendekatan kontekstual mengajak pembaca memahami latar belakang sosial, budaya, dan historis saat ayat atau hadis diturunkan. Dengan cara ini, nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, perlindungan, dan kemaslahatan dapat diterapkan sesuai perkembangan zaman.
Sementara itu, pendekatan interkontekstual melihat hubungan antar ayat dan hadis secara menyeluruh. Tujuan utamanya adalah menemukan benang merah nilai-nilai syariat (maqāṣid al-syarī‘ah) dalam membangun keluarga. Melalui pendekatan ini, perkawinan dipahami sebagai sarana untuk membentuk keluarga yang beriman, sejahtera, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Perkawinan sebagai Jalan Menuju Kemaslahatan
Teologi perkawinan menegaskan bahwa rumah tangga bukan hanya ruang privat, tetapi juga institusi moral yang menentukan kualitas masyarakat. Keluarga yang dibangun di atas nilai sakinah, mawaddah, dan rahmah akan melahirkan generasi yang berakhlak, bertanggung jawab, dan beriman.
Selain itu, pernikahan juga menjadi sarana pembelajaran spiritual. Suami dan istri saling menasihati dalam kebaikan, menjaga ketakwaan, dan menumbuhkan rasa syukur atas nikmat Allah. Bahkan dalam kondisi keterbatasan ekonomi sekalipun, Islam menanamkan keyakinan bahwa Allah akan mencukupkan rezeki bagi mereka yang menikah dengan niat yang lurus.
Penutup
Pada akhirnya, teologi perkawinan dalam Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah amanah Ilahi yang harus dijalani dengan kesadaran spiritual, tanggung jawab moral, dan komitmen sosial. Melalui pemahaman yang utuh secara tekstual, kontekstual, dan interkontekstual, perkawinan tidak hanya menjadi ikatan sah antara dua insan, tetapi juga jalan menuju kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat.
(Wdy/Adm)











