Penulis: Abd Latief Syukril
Kader Nahdatul Wathan
Pimpinan Ponpes NW Pasangkayu
Islah organisasi keagamaan merupakan konsep penting dalam menjaga keberlanjutan, legitimasi, dan kepercayaan umat terhadap sebuah jam’iyah.
Fenomena konflik internal yang sempat mencuat di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) menjadi contoh konkret bagaimana organisasi keagamaan besar menghadapi perbedaan pandangan struktural yang berpotensi mengganggu stabilitas organisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konflik antara unsur Syuriyah dan Tanfidziyah NU dalam beberapa waktu terakhir menarik perhatian publik nasional. Namun, yang patut dicermati bukan semata konflik itu sendiri, melainkan proses penyelesaiannya.
Para masyaikh dan ulama sepuh NU mengambil peran sentral dengan menempuh jalan poros tengah, mengedepankan nilai-nilai kebijaksanaan, dan menempatkan kemaslahatan jam’iyah di atas kepentingan kelompok.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa islah organisasi keagamaan tidak selalu harus melalui mekanisme formalistik semata, tetapi juga melalui legitimasi moral dan kearifan simbolik para tokoh ulama.
Proses islah tersebut relevan menjadi tamparan dan refleksik dalam konteks organisasi Bulan Bintang Sinar Lima di Nusa Tenggara Barat, yang hingga kini masih mengalami konflik berkepanjangan hampir dua dekade.
Konflik ini tidak hanya berdampak pada struktur kepemimpinan, tetapi juga menimbulkan fragmentasi sosial di tingkat jamaah. Dalam masyarakat awam, konflik tersebut melahirkan beragam persepsi, narasi, bahkan doktrinasi yang memperkuat fanatisme kader di masing-masing kubu.
Secara sosiologis dan politis, konflik yang tidak kunjung selesai berpotensi melemahkan daya konsolidasi organisasi. Masing-masing kubu mengklaim legitimasi paling sah, namun pada saat yang sama menunjukkan gejala krisis kepercayaan diri.
Akibatnya, bidang pendidikan seakan terlantarka, bidang sosial ditanggalkan, bidang dakwah menjadi lahan pengakuan sana pengakuan sini. Akhirnya organisasi kehilangan fokus utama dalam melayani umat, menjaga citra publik, serta membangun kekuatan kolektif yang berkelanjutan. Dalam kondisi demikian, konflik tidak melahirkan pemenang, melainkan kerugian bersama.
Islah organisasi keagamaan sejatinya bukan sekadar kompromi kekuasaan, melainkan upaya pemulihan kepercayaan dan penyatuan kembali visi kolektif.
Pengalaman NU menunjukkan bahwa islah bukan tanda kekalahan, melainkan strategi penyelamatan organisasi dan umat.
Oleh karena itu, refleksi ini diharapkan dapat menjadi bahan perenungan bersama agar konflik berkepanjangan di tubuh organisasi Bulan Bintang Sinar Lima dapat menemukan jalan islah demi kemaslahatan jamaah dan masa depan organisasi.
Tulisan ini disajikan sebagai refleksi akademik-populer dan kritik konstruktif, bukan sebagai bentuk penyerangan terhadap pihak mana pun. Wallahu a’lam.











