Opini : Pascabencana Sumatra dan Tanggung Jawab Negara atas Pendidikan Generasi
Penulis : Alhati Azzahra, S.Pd. (Mahasiswa Pascasarjana STAIN Majene)
SULBARPEDIA.COM, Bencana alam yang terjadi di sejumlah wilayah Sumatra tidak hanya menyisakan kerugian material dan luka sosial, tetapi juga menghadirkan persoalan serius dalam pemenuhan hak pendidikan. Di balik berbagai pernyataan tentang proses pemulihan, realitas menunjukkan bahwa sektor pendidikan masih berada dalam kondisi rentan dan belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang proporsional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Informasi resmi dari pemerintah menyebutkan bahwa ribuan sekolah terdampak, ribuan ruang kelas mengalami kerusakan, dan ratusan ribu peserta didik kehilangan akses pembelajaran yang layak. Kondisi ini tidak bisa dipandang sebagai dampak sampingan, melainkan sebagai persoalan utama yang menyangkut masa depan generasi pascabencana.
Ketika bangunan sekolah rusak dan akses menuju lembaga pendidikan terputus, proses belajar mengajar terpaksa berlangsung dalam keterbatasan atau bahkan terhenti. Dalam situasi seperti ini, pendidikan seharusnya diperlakukan sebagai kebutuhan mendesak, bukan menunggu pulihnya sektor lain terlebih dahulu.
Pernyataan pemerintah yang menggambarkan situasi pascabencana dalam kondisi terkendali perlu dibaca secara lebih hati-hati. Stabilitas secara umum belum tentu sejalan dengan terpenuhinya hak anak-anak atas pendidikan. Bagi mereka yang kehilangan ruang belajar, keadaan masih jauh dari normal.
Keterlambatan pemulihan infrastruktur pendidikan memperlihatkan adanya jarak antara kebijakan dan kebutuhan di lapangan. Pendidikan memiliki batas waktu yang tidak bisa ditawar; kehilangan kesempatan belajar hari ini akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Di tengah keterbatasan tersebut, berbagai elemen masyarakat bergerak cepat memberikan dukungan pendidikan darurat. Peran lembaga kemanusiaan, organisasi sosial, relawan, dan individu layak diapresiasi. Namun, kondisi ini sekaligus mengungkap bahwa kehadiran negara belum sepenuhnya dirasakan secara nyata.
Ketika pemenuhan kebutuhan pendidikan lebih banyak ditopang oleh inisiatif masyarakat, muncul pertanyaan tentang posisi negara dalam menjamin hak dasar warganya. Pendidikan korban bencana tidak seharusnya bergantung pada solidaritas semata, melainkan pada kebijakan yang sistematis dan berkelanjutan.
Dalam ajaran Islam, kepemimpinan dipahami sebagai amanah besar. Seorang pemimpin tidak hanya bertugas mengatur, tetapi juga memastikan kesejahteraan dan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Rasulullah SAW menegaskan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya.
Islam menempatkan pendidikan sebagai fondasi utama pembangunan manusia. Perintah membaca dalam wahyu pertama menegaskan bahwa pencerdasan umat merupakan prioritas yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan dalam situasi sulit sekalipun. Nilai-nilai Islam juga mengajarkan pentingnya kesiapsiagaan dan respons cepat terhadap musibah. Prinsip menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan menuntut negara bertindak sigap agar dampak sosial bencana tidak semakin meluas, termasuk dalam bidang pendidikan.
Pemulihan pendidikan pascabencana seharusnya dilakukan melalui langkah konkret dan terukur.
Penyediaan ruang belajar sementara, penugasan tenaga pendidik, ketersediaan sarana belajar, serta kebijakan khusus bagi peserta didik terdampak merupakan bentuk tanggung jawab yang tidak dapat ditunda.
Langkah-langkah tersebut bukanlah bentuk kemurahan negara, melainkan konsekuensi logis dari amanah kekuasaan. Pendidikan bukan layanan tambahan, tetapi hak dasar yang harus dijamin, terutama bagi kelompok paling rentan. Sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa pendidikan selalu dijaga bahkan dalam situasi krisis. Tradisi ini menegaskan bahwa menjaga keberlangsungan pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk pemulihan masyarakat.
Aspek anggaran juga perlu mendapat perhatian serius. Menjelang akhir tahun, alasan administratif sering kali menjadi penghambat percepatan program. Dalam pandangan Islam, pengelolaan anggaran negara harus berpihak pada kebutuhan rakyat dan dijalankan sebagai amanah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” (QS. An-Nisa: 58). Ayat ini menegaskan bahwa penundaan pemenuhan hak rakyat merupakan persoalan moral, bukan sekadar teknis.
Pada akhirnya, pemulihan pendidikan pascabencana di Sumatra menjadi tolok ukur kualitas kepemimpinan. Negara tidak dinilai dari narasi optimisme, tetapi dari sejauh mana kebijakan mampu menjawab kebutuhan nyata masyarakat terdampak. Jika pendidikan terus terpinggirkan, bencana alam berpotensi melahirkan krisis sosial yang berkepanjangan. Di titik inilah negara diuji untuk benar-benar hadir sebagai penjaga amanah dan pelindung masa depan generasi.
(Adm)











