Penulis : Nur Asifah S, S.H
SULBARPEDIA.COM – Isu poligami dan talak selalu menjadi perbincangan sensitif dalam hukum keluarga Islam. Keduanya memiliki dasar normatif yang kuat dalam syariat, namun praktik dan regulasinya berkembang sangat beragam di berbagai negara Muslim. Perbedaan ini menunjukkan bahwa hukum keluarga Islam bukan sistem yang statis, melainkan hukum yang terus bernegosiasi dengan konteks sosial, politik, dan tuntutan keadilan zaman modern.
Poligami: Dari Kebolehan hingga Pelarangan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam fikih klasik, poligami dibolehkan dengan batas maksimal empat istri dan syarat utama berlaku adil. Namun, prinsip normatif tersebut ditafsirkan berbeda oleh negara-negara Muslim modern.
Tunisia menjadi contoh paling ekstrem dengan melarang poligami secara tegas sejak 1956 melalui Code of Personal Status. Poligami dianggap sebagai pelanggaran hukum pidana, sebuah langkah yang menandai orientasi sekular dan modernisasi hukum keluarga.
Berbeda dengan Tunisia, Maroko memilih jalan tengah. Melalui reformasi Moudawana tahun 2004, poligami tidak dilarang, tetapi dibatasi sangat ketat. Pengadilan hanya dapat mengizinkan poligami jika terdapat alasan luar biasa, kemampuan ekonomi yang jelas, serta jaminan keadilan. Bahkan, istri berhak mencantumkan klausul larangan poligami dalam akad nikah.
Sementara itu, Indonesia dan Malaysia mengadopsi model pengawasan pengadilan. Poligami tetap diperbolehkan, tetapi bukan hak mutlak suami. Izin pengadilan, pembuktian kemampuan, serta pertimbangan kondisi keluarga menjadi instrumen utama negara untuk mencegah poligami yang merugikan perempuan dan anak.
Adapun negara seperti Mesir, Pakistan, dan Arab Saudi masih mengakui poligami berdasarkan syariah, namun mulai memperkenalkan mekanisme administratif dan prosedural sebagai bentuk kontrol negara.
Talak: Dari Hak Sepihak ke Prosedur Negara
Talak juga mengalami transformasi besar di dunia Islam. Dalam tradisi fikih klasik, talak dipahami sebagai hak prerogatif suami. Namun, praktik talak sepihak sering kali menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
Karena itu, banyak negara Muslim kini mengikat talak dengan prosedur hukum negara. Di Indonesia, talak harus diproses melalui Pengadilan Agama agar sah secara hukum. Malaysia bahkan memberikan sanksi terhadap talak yang dilakukan di luar pengadilan syariah.
Reformasi paling progresif terlihat di Maroko dan Tunisia, yang menempatkan perceraian sepenuhnya di bawah kontrol lembaga negara. Mekanisme mediasi, pencatatan resmi, dan pengaturan hak pasca-perceraian (nafkah, hadhanah, kompensasi) menjadi bagian integral dari sistem hukum keluarga.
Pakistan juga memperkenalkan Arbitration Council untuk membatasi talak sepihak, meskipun praktik di lapangan masih menghadapi berbagai kendala sosial dan budaya.
Tiga Model Besar Regulasi
Dari perbandingan lintas negara, setidaknya muncul tiga model regulasi hukum keluarga Islam:
Model prohibitif – melarang poligami dan memperketat perceraian (Tunisia).
Model kodifikasi protektif – membolehkan dengan pembatasan ketat dan pengawasan pengadilan (Maroko, Indonesia, Malaysia).
Model formal-syariah – tetap membolehkan poligami dan talak dengan pengawasan administratif terbatas (Mesir, Pakistan, Arab Saudi).
Perbedaan ini menegaskan bahwa hukum keluarga Islam sangat dipengaruhi oleh politik hukum negara, mazhab fikih yang dianut, serta tekanan sosial dan internasional terkait hak asasi manusia.
Arah Reformasi Hukum Keluarga Islam
Dalam dua dekade terakhir, reformasi hukum keluarga di dunia Islam menunjukkan arah yang relatif sama: penguatan peran negara, perlindungan perempuan dan anak, serta pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah. Negara tidak lagi sekadar menerjemahkan teks fikih ke dalam undang-undang, tetapi berupaya memastikan bahwa hukum benar-benar melindungi kemaslahatan keluarga.
Namun, tantangan terbesar reformasi bukan pada teks hukum, melainkan pada implementasi. Banyak aturan progresif berhenti sebagai law in books karena lemahnya penegakan, rendahnya literasi hukum, dan hambatan akses ke pengadilan.
Penutup
Poligami dan talak bukan sekadar persoalan halal dan haram, melainkan persoalan keadilan, tata kelola hukum, dan perlindungan keluarga. Pengalaman berbagai negara Muslim menunjukkan bahwa pembaruan hukum keluarga Islam paling efektif ketika mampu mengharmonikan nilai syariah, konteks sosial modern, dan prinsip keadilan substantif.
Dengan pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah dan dukungan institusi hukum yang kuat, hukum keluarga Islam tetap relevan sebagai hukum yang hidup—bukan hanya normatif, tetapi juga solutif bagi problem keluarga Muslim kontemporer.
(Adm)











